Masa Pemerintahan Orde Baru (Soeharto)

Pada tanggal 30 September 1965, Kaum
Komunis telah melakukan pemberontakan pula dalam Negara Republik Indonesia, dengan
predikat “Gerakan 30 September”. Pemberontakan PKI yang pertama ialah bulan
September 1948, yang berpusat di Madiun di bawah pimpinan Muso. Dengan
pemberontakan G-30-S/PKI 1965 itu, Republik Indonesia berada di dalam tiga
bahaya, yang berintegrasi, yaitu: Pemberontakan G-30-S, Kekuasaan diktatuur
Orla, Kehancuran ekonomi. Jenderal Soeharto telah memimpin bangsa dan Negara
Republik Indonesia, berjuang melawan dan mengalahkan ketiga bahaya itu. Dengan
perhitungan dan strategi yang matang di bawah petunjuk dan bimbingan Tuhan,
bahaya-bahaya itu dapat dikalahkan dan diatasi satu-persatu. Pemberontakan
G-30-S telah dikalahkan dengan berhasil dan kekuatan Komunis dihancurkan di
Indonesia. Kehancuran ekonomi telah diatasi dengan jalan Rehabilitasi,
stabilitasi dan pembangunan. Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil
mewujudkan cita-citanya, dalam rangka menghancurkan negara kesatuan Republik
Indonesia. Dalam waktu relatif singkat maka dapat ditumpas oleh para
tokoh-tokoh yang setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesudah itu,
pemerintah dan rakyat Indonesia bertekad melaksanakan suatu tatanan kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Ideologi negara Pancasial
dan Konstitusi (UUD 1945).
kata kunci
Soekarno, Orde Baru, Ideologi Pancasila,
PKI, Angkatan 66, Kabinet 100 Menteri, Repelita, Mahasiswa, Kabinet Ampera,
Nasakom, Gestapu.
Pendahuluan
Latar
Belakang
Perjalanan hidup suatu bangsa pasti
mengalami berbagai cobaan. Salah satu peristiwa sejarah penting yang dialami
bangsa Indonesia adalah Gerakan 30 September 1965. Tragedi nasional yang
dikenal sebagai G-30-S/PKI atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) yang
didalangi Partai Komunis Indonesia. Negara Kesatuan Indonesia dan ideologi
Pancasila menghadapi tantangan yang besar sejak tahun 1965, ketika Demokrasi
Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional. Prinsip Nasakom
(Nasional, Agama, dan Komunis) yang dipraktekkan pada waktu itu, memberi
kesempatan kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya.
Usaha PKI itu juga didukung oleh kondisi ekonomi nasional yang semakin
memprihatinkan. Dan kondisi sosial serta politik yang penuh gejolak pada awal
tahun 1960-an. Oleh sebab itu, PKI bersama-sama Presiden dan Angkatan Darat
menjadi kekuatan penting dibandingkan kekuatan lain dalam kehidupan politik
nasional Indonesia pada saat itu.
Rumusan Masalah
Pemerintah Orde Baru
berkehendak menyusun sistem ketatanegaraan berdasarkan asas demokrasi
Pancasila. Salah satu wujud demokrasi Pancasila adalah penyelenggaraan
pemilihan umum (Pemilu). Melalui pemilu, rakyat diharapkan dapat merasakan hak
demokrasinya, yaitu memilih dan dipilih sebagai wakil-wakil yang dipercaya
untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang
dipilih nantinya harus membawa suara hati nurani rakyat pada lembaga itu.
ü Mengapa rakyat Indonesia
mendukung Presiden Soeharto?
ü Apa langkah pertama yang
diambil oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk membersihkan pemerintah dari
pengaruh PKI?
ü Apa yang melatarbelakangi
lahirnya Orde Baru?
Pembahasan
Masa
Pemerintahan Orde Baru
Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
Setelah Gerakan 30 September
1965/PKI berhasil ditumpas dan berbagai bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan
mengarah pada PKI, akhirnya ditarik kesimpulan PKI dituding sebagai dalang di
belakang gerakan itu. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat kepada PKI.
Kemarahan rakyat itu diikuti dengan berbagai demonstrasi-demonstrasi yang
semakin bertambah gencar menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massa (ormasnya)
dan tokoh-tokohnya harus diadili.[1]
Sementara itu, untuk mengisi
kekosongan pimpinan Angkatan Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965, panglima
Kostrad / Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat. Bersamaan dengan itu juga dilakukan tindakan-tindakan
pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
Masyarakat luas yang terdiri dari
berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan,
pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara serentak membentuk satu kesatuan
aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung Gerakan 30
September 1965 / PKI yang diduga didalangi oleh PKI. Mereka menuntut
dilaksanakannya penyelesaian politis terhadap mereka yang terlibat dalam
gerakan itu. Kesatuan aksi yang muncul untuk menentang G30S/PKI di antaranya
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila kemudian lebih dikenal dengan sebutan Angkatan 66.
Mereka yang tergabung dalam Front
Pancasila mengadakan demontrasi di jalan-jalan raya. Pada tanggal 8 Januari
1966 mereka menuju Gedung Sekretariat Negara dengan mengajukan pernyataan bahwa
kebijakan ekonomi pemerintah tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12
Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
berkumpul dihalaman Gedung DPR-GR untuk mengajukan Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura) yang isinya sebagai berikut:
- Pembubaran PKI beserta organisasi massanya.
- Pembersihan Kabinet Dwikora.
- Penurunan harga-harga barang.
Pada tanggal 15 Januari 1966
diadakan sidang paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam sidang itu
hadir para wakil mahasiswa. Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa
itu didalangi oleh CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat.
Kemudian pada tanggal 21 Februari 1966, presiden Soekarno mengumumkan perubahan
kabinet. Ternyata perubahan itu tidak memuaskan hati rakyat, karena banyak
tokoh yang diduga terlibat dalam G30S / PKI masih bercokol di dalam kabinet
baru yang terkenal dengan sebutan Kabinet Seratus Menteri.
Pada saat pelantikan kabinet tanggal
24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan
menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa. Hal ini
menyebabkan terjadinya bentrokan antara pasukan Cakrabirawa dengan para
demonstran yang menyebabkan gugurnya seorang mahasiswa bernama Arif Rahman
Hakim.
Atas kematian Arif Rahman Hakim itu
membuat suasana makin lama makin memburuk. Sayang pemerintah tidak mengambil
tindakan yang tegas terhadap kejadian itu. Akhirnya demonstrasi semakin
menjadi-jadi dan pengganyangan terhadap PKI berlangsung di mana-mana. Akhirnya
pemerintah Soekarno kewalahan. Sedangkan kepercayaan kepada Mayor Jenderal
Soeharto masih dirong-rong oleh presiden Soekarno. Beliau masih berusaha untuk
mengelak memperjelas keterlibatan PKI. Aksi-aksi mahasiswa dan siswa ini tidak
saja terjadi di ibu kota Jakarta tetapi menjalar ke seluruh kota besar dan
kecil di seluruh tanah air yang mendapat dukungan dari masyarakat dan ABRI.
Aksi mahasiswa dan pelajar ini semakin jelas tujuannya. Mereka menginginkan
agar pemerintah segera memperbaiki keadaan, terutama keadaan ekonomi dan
keamanan.
Latar Belakang Lahirnya Tritura
- Di Bidang Politik
Seperti telah diketahui, PKI sejak
dulu ingin mendirikan negara Komunis di Indonesia. Keinginan ini mendapat
tantangan dari rakyat Indonesia, terutama para perwira ABRI. Mereka ingin satu
saja ideologi di Indonesia. Ideologi itu ialah Pancasila dasar negara kita.
Bila PKI berkuasa, maka ideologi Pancasila pasti akan dihapuskannya. Apalagi
ajaran komunis itu sangat tidak sesuai dengan kepribadian kita. Indonesia
adalah negara Pancasila.
- Di Bidang Ekonomi
Menjelang lahir Tritura, keadaan
ekonomi Indonesia sangat parah. Di mana-mana terjadi kelaparan. Tidak ada
lapisan mayarakat yang hidup berkecukupan. Mereka yang terlihat agak baik
kehidupannya adalah orang-orang yang mendapat fasilitas dari PKI atau
orang-orang yang bersekongkol dengan partai itu. Kebutuhan sepuluh bahan pokok,
yaitu kebutuhan sehari-hari dikuasai oleh pemerintah. Akhirnya kebutuhan itu
berada di tangan orang-orang PKI yang ikut berkuasa dalam pemerintahan Presiden
Ir. Soekarno. Dari sepuluh bahan pokok itu yang paling utama ialah
sandang dan pangan. Oleh karena kebutuhan sepuluh bahan pokok itu dikuasai oleh
pemerintah, maka kepada rakyat diberikan jatah beras, sandang atau pangan.
Dalih pemerintah Ir. Soekarno pada waktu itu ialah agar kita berhemat, sebab
revolusi belum selesai.
- Di Bidang Pemerintahan
Dalam lembaga pemerintahan sebagian
masih terdapat orang yang berpaham komunis. PKI belum dibubarkan. Jenderal
Soeharto sangat hati-hati akan situasi ini. Ia masih harus memerlukan waktu
untuk menentukan mana kawan dan mana lawan. Bila tidak diambil tindakan yang
bijaksana, akibatnya akan bertambah buruk, apalagi keadaan bertambah buruk
lagi, ketika Ir. Soekarno menolak untuk mengeluarkan orang-orang Komunis atau
PKI yang duduk di lembaga pemerintahan.
DPRGR masih menampung orang-orang
PKI. Keadaan seperti ini menambah sulitnya keadaan. Apalagi orang-orang yang
diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi para menteri masih dipenuhi oleh
oknum-oknum PKI dan organisasi yang seazas. Keadaan seperti ini harus
dibersihkan. Demikianlah aksi mahasiswa dan masyarakat. Seluruh rakyat menuntut
agar kabinet harus dibersihkan dari tangan-tangan orang PKI yang telah nyata
terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 atau G.30 S/PKI. PKI dan
antek-anteknya mempunyai dasar dan pandangan hidup bangsa PANCASILA.
KAMI Dibubarkan
Setelah mempelajari situasi negara
yang sangat penting itu Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad,
Komando Keamanan dan Pemulihan Keamanan mulai mencari langkah yang bijaksana
untuk mengatasinya. Sementara itu aksi mahasiswa meningkat terus yang
ditunjukkan langsung kepada Pendukung Soekarnoisme (BPS). Hal ini tentu sangat
berbahaya, sebab sudah ada dua golongan yang akan saling bermusuhan. Tetapi
berkat kebijaksanaan Mayor Jenderal Soeharto keadaan dapat diatasi. BPS hilang
dengan sendirinya dan KAMI seolah-olah mendapat angin. Semua komponen dalam
kesatuan aksi itu bekerjasama dengan ABRI selaku pelindung dan pembela rakyat.
Pada tanggal 26 Februari 1966, KAMI dibubarkan oleh Presiden Soekarno, tetapi
aksi Tritura tetap dilanjutkan. Rakyat tetap berdiri disamping pemimpinnya.
Walaupun Mayor Jenderal Soeharto telah mempunyai konsep untuk menenangkan
suasana, akan tetapi belum dapat berbuat banyak Karena atasannya masih ada
yaitu Presiden Soekarno. Oleh sebab itu perlu dicari waktu yang tepat.
Dari KAMI yang dibubarkan,
perjuangan berpindah secara estafet kepada KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia). Demonstrasi bertambah hebat. Suasana semakin memuncak. Jakarta
berada dalam keadaan demam revolusi. Penyerangan Cakrabirawa ke U. I. di
gagalkan oleh Jenderal Soeharto dengan menempatkan pasukan Kostrad di sana.
Puncak kejadian ialah tanggal 11 Maret 1966, sewaktu Soekarno memimpin kabinet
di istana negara, tiba-tiba Ajudan Presiden, Kolonel Bambang Wijarno
menyampaikan laporan kepada Presiden, bahwa pasukan tentara yang tak dikenal
kesatuannya, sedang menuju istana. Soekarno terkejut, lalu menyerahkan pimpinan
sidang kepada Dr. Leimena, kemudian lari terbirit-birit menuju helikopter yang
berada di halaman istana. Wakil-wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrio dan
Chairul Saleh mengikut di belakang. Mereka bertiga terbang ke Bogor.
Jenderal Soeharto mengirim delegasi
ke Bogor untuk bermusyawarah dengan Presiden. Delegasi itu terdiri dari tiga
Jenderal, yaitu AMIRMACHMUD, BASUKI RACHMAT dan M. JUSUF. Musyawarah
menghasilkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi tentang pemindahan kekuasaan
eksekutif dari presiden Soekarno kepada Jenderal SOEHARTO. Berdasarka Surat
Perintah 11 Maret ini, Jenderal Soeharto mengeluarkan keputusan membubarkan PKI
atas nama Presiden, Keputusan ini sangat mengejutkan Soekarno.[2]
Dalam pada itu Jenderal Soeharto
berusaha dengan gigih meyakinkan Soekarno bahwa sebagian pembantu-pembantunya
dalam kabinet yang menjadi tuntutan massa demonstran-demonstran, antaranya Dr.
Soebandrio, tidak mungkin dipertahankan lagi. Presiden Soekarno sudah dapat
memahami dan menerima keadaan itu. Tetapi pada tanggal 16 Maret 1966, tiba-tiba
Presiden Soekarno mengeluarkan pengumuman, yang isinya pada hakekatnya mencabut
isi dari Surat Perintah 11 Maret 1966. Pengumuman Presiden Soekarno ini sangat
mengejutkan Jenderal Soharto dan para Panglima militer, serta membangkitkan
kemarahan massa kembali
Jenderal Soeharto bertindak
mendahului massa, sehingga keadaan tetap dikuasai. Pada tanggal 18 Maret 1966
dikeluarkan Surat Keputusan atas nama Presiden oleh Jenderal Soeharto, menangkap
dan menahan lima belas Menteri, serta menunjuk penggantinya sekali. Tindakan
Jenderal Soeharto yang mendahului massa ini, sangat mencengangkan. Jenderal
Soeharto yang tadinya diduga dan dituduh lamban, ternyata seorang yang
bertindak tepat pada waktunya, dengan perhitungan yang masak. Kekuatan Presiden
Soekarno sudah habis. Menurut hukum revolusi, riwayatnya sudah tamat, dan
Presiden Soekarno sudah tidak ada lagi. Kekuasaan sudah berada dalam tangan
Jenderal Soeharto.[3]
Sementara itu Jenderal Soeharto
telah berusaha menyempurnakan MPRS, DPRGR, DPA dan Lembaga Pemerintah Pusat
yang lain. Dengan cara begini, ia telah mengambil langkah-langkah untuk
memberikan nafas bagi kehidupan demokrasi kembali, setapak demi setapak, sesuai
dengan kemungkinan. Pada tanggal 20 Juni 1966, sampai tanggal 6 Juli 1966,
diadakan sidang MPRS, yang ke-IV di Jakarta. Presiden Soekarno sebagai Kepala
Negara, diminta memberikan laporan kepada sidang, mengenai pemberontakan G 30 S
yang gagal. Pemberian laporan pertanggungan jawab oleh Presiden Soekarno itu,
sekaligus juga merupakan langkah mematuhi UUD 45.
Perkembangan Kekuasaan Orde
Baru
Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali
itu. Dengan berkuasanya Soeharto sebagai pemegang tampuk pemerintahan di negara
Republik Indonesia sebagai pengganti Presiden Soekarno, maka dimulailah babak
baru yaitu sejarah Orde Baru.[4]
Pada hakikatnya, Orde Baru merupakan
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, atau sebagai koreksi terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di masa lampau. Di samping itu juga
berupaya menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional
guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Permulaan tahun 1967 suasana
bertambah panas lagi. Mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan kembali, dengan
sasaran yang terang, yaitu Soekarno. Pada tanggal 23 Januari 1967, Jenderal
Soeharto mengeluarkan pengumuman yang bernada keras, terhadap kontra-kontra
Orde Baru. Dalam pengumuman itu, ditegaskan bahwa kesabaran yang diperlihatkan
Angkatan Bersenjata dalam menghadapi bencana Gestapu/PKI akan sampai pada
batasnya: “Di saat itu kita akan menarik garis yang jelas antara kita dan
mereka yang berdiri di luar garis yang telah ditentukan oleh MPRS. Barulah di
waktu itu, kita akan mengambil langkah-langkah yang tegas dan tindakan yang
keras terhadap siapapun”.
Setelah peristiwa G30S / PKI, negara
Republik Indonesia dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan
Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa itu. Sementara itu,
partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling
bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Selanjutnya, terjadilah situasi konflik yang membahayakan persatuan dan
keutuhan bangsa.
Melihat situasi konflik antara
masyarakat pendukung Orde Lama dengan Orde Baru semakin bertambah gawat, DPR-GR
berpendapat bahwa situasi konflik harus segera diselesaikan secara
konstitusional. Pada tanggal 3 Februari 1967 DPR-GR menyampaikan resolusi dan
memorandum yang berisi anjuran kepada ketua Presidium Kabinet Ampera agar
diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS.
Pada tanggal 20 Februari 1967,
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto.
Penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto dikukuhkan di dalam
sidang Istimewa MPRS. MPRS dalam ketetapannya No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut
kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai
Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan adanya ketetapan MPRS itu, situasi
konflik yang merupakan sumber instabilitas politik telah berakhir secara
konstitusional.
Sekalipun situasi konflik berhasil
diatasi, namun kristalisasi Orde Baru belum selesai. Untuk mencapai stabilitas
nasional diperlukan proses yang baik dan wajar, agar dapat dicapai stabilitas
yang dinamis, yang mendorong dan mempercepat pembangunan. Proses ini dimulai
dari penataan kembali kehidupan politik yang berlandaskan kepada Pancasila dan
UUD 1945.
Usaha penataan kembali kehidupan
politik dimulai pada awal tahun 1968 dengan penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini
bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan
kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri
dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Tahap selanjutnya adalah
penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan dan kekaryaan dengan cara
pengelompokkan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai
tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan
partai-partai politik. Hasilnya lahirlah tiga kelompok di DPR yaitu:
- Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari parta-ipartai PNI, Parkindo, Katolik, IPKI, serta Murba.
- Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai-partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti.
- Sedangkan kelompok organisasi profesi seperti organisasi pemuda, organisasi tani dan nelayan, organisasi seniman dan lain-lain tergabung dalam kelompok Golongsan Karya.
Selanjutnya pemerintah Orde Baru
memurnikan kembali politik luar negeri yang bebas-aktif. Politik konfrontasi
dengan Malaysia dihentikan. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia berhasil
dicapai dengan ditandatanganinya Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus
1966. Kemudian pemerintah memutuskan untuk kembali menjadi anggota PBB sejak
tanggal 28 September 1966, guna mengembalikan kepercayaan dunia internasioanal
serta menumbuhkan saling pengertian yang sangat bermanfaat bagi pembangunan. Di
samping itu, untuk mempererat dan memperluas hubungan kerja sama regional
bangsa-bangsa Asia Tenggara, pada tanggal 8 Agustus 1967 Deklarasi Bangkok
berhasil ditandatangani. Dengan ini, lahirlah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN).
Perhimpunan ini beranggotakan Indonesia, Muangthai, Malaysia, Singapura, dan
Filipina.
Kebijakan Pemerintahan Orde Baru
Setelah berhasil memulihkan kondisi
politik bangsa Indonesia, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah
adalah melaksanakan Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional yang diupayakan
pada zaman Orde Baru direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka pendek dirancang melalui
Pembangunan Lima Tahun (pelita). Setiap pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.[5]
Untuk memberikan arah dalam usaha
mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka MPR telah menetapkan Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973, yang pada dasarnya merupakan pola
umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya. GBHN dijabarkan
dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berisi program-program
konkret yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun. Pelaksanaan
Repelita telah dimulai sejak tahun 1969.
Proses Menguatnya Peran Negara Pada
Masa Orde Baru[6]
Sejak Orde Baru berkuasa, telah
banyak perubahan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia melalui tahap-tahap
pembangunan di segala bidang. Pemerintah Orde Baru berusaha meningkatkan peran
nagara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, langkah yang
dilakukan pemerintah Orde Baru adalah menciptakan stabilitas ekonomi politik.
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan negara yang
didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Pada Sidang umum
IV MPRS telah diambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku
pengemban Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, yang sudah ditingkatkan
menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS 1966 untuk membentuk kabinet baru.
Pembentukan kabinet baru ini dinamai
Kabinet Ampera. Kabinet Ampera dibebani tugas untuk menciptakan stabilitas
politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan
nasional. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Darma
Kabinet Ampera. Adapun program yang dibebankan oleh MPRS kepada kabinet
Ampera adalah:
v Memperbaiki kehidupan rakyat
terutama di bidang sandang dan pangan.
v Melaksanakan Pemilihan Umum
dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yakni
5 JUli 1968.
v Melaksanakan politik luar
negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS
No. XI/MPRS/1966.
v Melanjutkan perjuangan anti
imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Keempat program Kabinet Ampera ini
disebut Catur Karya Kabinet Ampera. Program ini dijalankan oleh pemerintah Orde
Baru. Pada tanggal 21 Maret 1968, Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden
menyampaikan laporan kepada Sidang umum V MPRS mengenai pelaksanaan Dwi Darma
dan Catur Karya Kabinet Ampera. Pertama kali dilaporkan bahwa telah
dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi dan hubungan antar
lembaga negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945. Menurut UUD
1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memegang kekuasaan tertinggi dalam
negara Republik Indonesia. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada
dibawah MPR.
Pada masa Orde Baru tatanan
kehidupan kenegaraan dikembalikan kepada kemurnian pelaksanaan UUD 1945, hal
itu terlihat pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana Presiden
Soeharto berbicara langsung di hadapan wakil-wakil rakyat yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Pidato kenegaraan Presiden Soeharto selalu diucapakan
di depan sidang DPR.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa, peristiwa 30 September 1965 Tragedi Berdarah dalam sejarah
bangsa Indonesia membawa masyarakat Indonesia untuk menata kembali kehidupan
berbangsa dan bernegara kembali kepada ideologi Pancasila dan UUD 1945. Dan
keinginan untuk melaksanakan secara murni dan konsekwen Ideologi negara
Pancasila dan UUD 1945. Dalam peristiwa tanggal 30 September 1965 ini telah
membawa korban rakyat banyak, dan para pemimpin bangsa diantaranya tujuh orang
Perwira Tinggi Angkatan Darat. Tuntutan masyarakat terhadap aksi Gerakan 30
September semakin meningkat. Hal ini menimbulkan tekanan berat bagi Pemerintah
Soekarno untuk memberikan perintah kepada Letnan Soeharto sebagai Panglima
Angkatan Darat untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Dalam
menjalankan tugas Letnan Jenderal Soeharto juga harus melaporkan segala sesuatu
kepada Presiden Soekarno, mandat itu dikenal dengan nama Supersemar.
Kebijaksanaan politik luar negeri
Indonesia pada masa Orde Baru ini adalah: menghentikan konfrontasi dengan
Malaysia, memprakarsai terbentuknya ASEAN, keikutsertaan Indonesia dalam
Organisasi Internasional. Kebijaksanaan politik dalam negeri Indonesia pada
masa Orde Baru diantaranya adalah: melasanakan pemilu, penataan dalam bidang
Pemerintahan mulai dari Tingkat Pusat sampai ke bawah, melaksanakan berbagai
sektor pembangunan dalam negeri seperti: sektor ekonomi, sosial, dan
budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar